Cegah Resistensi Antibiotik

Posted by: Administrator Comments: 0

Cegah Resistensi Antibiotik

Oleh: dr. I Kt. Agus Indra Adhiputra, Sp.MK

Antibiotik merupakan obat yang tidak asing lagi di kalangan masyarakat. Saat menerima resep obat, dokter selalu mengingatkan Anda untuk mengkonsumsi antibiotik sesuai dosis sampai habis. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang antibiotik mengakibatkan kelalaian dalam penggunaannya. Kondisi yang sering ditemukan yaitu tidak menghabiskan antibiotik sesuai dosis yang dianjurkan. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan bakteri resisten (kebal) terhadap antibiotik sehingga pengobatan lebih sulit untuk dilakukan.

Antibiotik atau yang dikenal dengan antibakteri adalah suatu zat (substansi) yang memiliki fungsi untuk membunuh ataupun menghambat pertumbuhan bakteri. Dalam sejarahnya, antibiotik sudah digunakan sejak zaman Mesir kuno yang terbuat dari ekstrak tumbuhan dan jamur untuk membunuh bakteri dan mengobati luka infeksi. Pada akhir abad ke-19, antibiotik modern mulai ditemukan dan dikembangkan.

Alexander Fleming, seorang ahli mikrobiologi dari Inggris secara tidak sengaja menemukan antibiotik pertama yaitu Penicillin. Penemuan antibiotik terjadi saat Fleming melakukan penelitian pada bakteri Staphylococcus. Saat meninggalkan labotatoriumnya, Fleming tidak sengaja membiarkan cawan petri yang mengandung bakteri Staphylococcus terbuka. Hal ini menyebabkan cawan petri tersebut terkontaminasi oleh jamur Penicillium notatum. Saat kembali untuk melanjutkan penelitian, Fleming melihat perkembangan bakteri menjadi terhambat akibat kontaminasi jamur itu. Penelitian pun terus dilanjutkan untuk mengetahui senyawa yang terkandung pada jamur Penicillium notatum sehingga lahirlah antibiotik pertama yang disebut Penicillin. Namun, penelitian selanjutnya tidak berjalan dengan lancar. Fleming mengalami kendala terhadap cara budidaya dan isolasi jamur tersebut sehingga penelitiannya dihentikan. Penelitian tentang Penicillin kemudian dilanjutkan oleh Howard Florey dan Ernest Boris Chain. Mereka berhasil memurnikan Penicillin sehingga mampu digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Oleh karena penemuannya tersebut, Alexander Fleming mendapatkan penghargaan Nobel Prize in Medicine pada tahun 1945 bersama Florey dan Chain.

Pada tahun 1941, semua jenis bakteri Staphylococcus sensitif (peka) terhadap Penicillin. Namun, tiga tahun kemudian bakteri jenis ini sudah kebal terhadap Penicillin. Sampai saat ini, tidak hanya jenis bakteri Staphylococcus yang diketahui mengalami resistensi terhadap antibiotik, bakteri Pseudomonas, Enterococcus, dan Mycobacterium tuberculosis juga memiliki resistensi terhadap Penicillin.

Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah kemampuan alamiah bakteri untuk mempertahankan diri terhadap efek antibiotik. Antibiotik menjadi kurang efektif dalam mengontrol atau menghentikan pertumbuhan bakteri. Bakteri yang menjadi target operasi antibiotik beradaptasi secara alami untuk menjadi resisten dan tetap melanjutkan pertumbuhan demi kelangsungan hidup meski dengan kehadiran antibiotik. Resistensi bakteri terhadap antibiotik melalui beberapa mekanisme. Layaknya manusia, bakteri memiliki DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) sehingga bakteri dapat bermutasi atau berubah. Kemudian, ketika input dari dunia luar berinteraksi dengan mutasi tersebut yang akan bertahan hanya yang paling kuat dari variasi itu. Ketika manusia menggunakan antibiotik untuk membunuh bakteri, bakteri secara spontan memutasi gennya yang mengubah komposisi mereka dengan cara tertentu yang menyebabkan antibiotik tidak dapat membunuhnya. Bakteri yang bertahan ini meneruskan gen ini kepada bakteri melalui perkawinan yang sederhana (secara teknis dikenal sebagai ‘konjugasi’) dan resistensi bakteri tersebut dapat menyebar dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup lainnya. Hal lainnya yang mengkahawatikan ialah bakteri dapat membagikan gen-gen ini masing-masing dengan melintasi spesies bakteri yang lain. Jadi, mereka tidak harus mirip secara genetika untuk dapat meneruskan resistensi. Manusia dan hewan yang penuh dengan trilliuan tipe bakteri yang berbeda, kemudian meneruskan bug yang resisten satu sama lain yang kadang disebut sebagai superbug.

Terdapat dua hal mendasar terkait dengan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik yaitu kemampuan bakteri untuk berevolusi membentuk pertahanan diri terhadap antibiotik secara cepat dan kontribusi manusia dalam membantu bakteri tersebut untuk berevolusi lebih cepat. Kontribusi manusia menjadi faktor risiko penting dalam resistensi bakteri yaitu penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat terkait dengan penggunaan antibiotik yang irrasional:

  1. Penggunaan antibiotik yang sering dalam pengobatan sehingga dapat mengurangi keefektifan dari antibiotik tersebut. 
  2. Antibiotik yang berlebihan. Hal tesebut dapat kita lihat dalam peresepan antibiotik yang irrasional terhadap pasien bahkan ketika pasien itu sama sekali tidak membutuhkan antibiotik, misalnya saat terserang infeksi virus. Beberapa contoh antibiotik yang relatif cepat kehilangan efektivitasnya setelah dipasarkan karena masalah resistensi, adalah ciprofloxacin dan cotrimoxazole. 
  3. Penggunaan antibiotik dalam jangka waktu lama sehingga memberi kesempatan untuk tumbuhnya bakteri yang lebih resisten (first step mutant).

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat serta irrasional menjadi masalah utama dalam resistensi bakteri terhadap antibiotik. Penyebab dari hal tersebut adalah peresepan antibiotik yang salah dengan dosis yang tidak tepat untuk infeksi tertentu. Selain itu, terdapat beberapa kalangan medis yang meresepkan antibiotik berspektrum luas untuk membunuh bakteri yang menyebabkan infeksi sehingga bakteri target lebih tahan terhadap antibiotik tersebut yang tidak spesifik untuk dirinya. Permasalahan utama lain terkait penggunaan antibiotik yang tidak tepat adalah tersedianya antibiotik secara bebas di pasaran bahkan tanpa resep dokter. Penggunaan antibiotik yang tidak dipahami pasien juga dapat menjadi salah satu penyebab resistensi bakteri. Sebagian besar pasien yang mendapatkan terapi antibiotik sering menghentikan pengobatan saat dirinya merasa secara subjektif lebih baik dari sebelumnya atau anggapan bahwa dirinya telah sembuh padahal dokter telah memberi dosis antibiotik yang sesuai untuk dikonsumsi hingga bakteri yang menjadi penyebab infeksi dapat dibasmi secara tuntas. Hal ini mengakibatkan bakteri yang ada pada tubuh pasien tersebut tidak secara tuntas dibasmi dan timbul pertahanan diri yang baru terhadap antibiotik yang sama yang akan menyerang kelak. 


Gambar 1. Bagaimana resistensi antibiotik bisa terjadi. 1) Banyak mikroba dengan beberapa diantaranya resisten. 2) Antibiotik membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit dan juga bakteri baik yang melindungi tubuh dari infeksi. 3) Bakteri yang sudah resisten terhadapat antibiotik mulai bertambah  jumlahnya. 4) Beberapa bakteri memberikan kekebalan terhadap antibiotik mereka ke bakteri lainnya yang pada akhirnya menimbulkan lebih banyak lagi bakteri resisten antibiotik lainnya. Sumber: CDC.gov

Kita dapat berperan secara aktif untuk menghambat terjadinya resistensi bakteri, caranya adalah dengan menggunakan antibiotik secara tepat. Meskipun antibiotik merupakan obat yang sangat kuat, akan tetapi antibiotik hanya efektif untuk digunakan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan bukan oleh mikroba lain. Beberapa tips yang bermanfaat apabila kita berobat ke dokter, yaitu pertama tanyakan apakah antibiotik yang diberikan bermanfaat terhadap penyakit yang tengah diderita saat ini. Kedua, apabila mendapatkan antibiotik, harus digunakan sampai habis, jangan sisakan antibiotik tersebut untuk pengobatan di lain waktu. Ketiga, gunakan antibiotik yang diberikan sesuai saran dari dokter. Gunakan secara rutin sampai habis meskipun sudah merasa sehat. Jika pengobatan antibiotika dihentikan terlalu cepat, maka beberapa bakteri dapat bertahan hidup dan menimbulkan infeksi kembali. Keempat, jangan gunakan antibiotik yang di resepkan untuk orang lain. Terkadang karena merasa gejala penyakit yang dirasakan sama, maka kita menyamakan pengobatan dengan orang tersebut, padahal bisa jadi kebutuhan setiap orang berbeda. Kelima, jika dokter menyimpulkan bahwa penyakit kita tidak memerlukan pengobatan antibiotik, tanyakan pengobatan lain yang dapat membantu meredakan gejala yang kita rasakan. Jangan paksa dokter untuk memberikan antibiotik kepada kita.